PA SITUBONDO DUKUNG PERLINDUNGAN ANAK KORBAN TERORISME DALAM RAKORNAS KPAI
Rabu, 20 November 2024, pukul 09.30 WIB, Margareth Aliyatul Maemunah, salah satu narasumber dalam Rapat Koordinasi Nasional KPAI, menyampaikan presentasi mengenai pengawasan terhadap anak-anak yang menjadi korban jaringan terorisme. Ketua, Panitera, dan tenaga teknis Pengadilan Agama Situbondo mengikuti presentasi tersebut secara daring di Media Center. Dalam pemaparannya, Margareth menyoroti pola gerakan radikalisme yang berkembang di Indonesia serta infiltrasi radikalisme yang menyasar anak-anak. "Anak-anak yang terpapar radikalisasi sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam pengaruh yang berbahaya," ujarnya. Ia juga menjelaskan tentang dampak luas yang ditimbulkan dari pengaruh radikalisasi terhadap anak, termasuk luka fisik, psikis, trauma, stigma sosial, dan bahkan kehilangan nyawa. "Kita harus lebih peka terhadap kondisi anak-anak yang terlibat dalam jaringan terorisme," tambahnya.
Margareth menguraikan bahwa anak korban jaringan terorisme tidak hanya menderita akibat kekerasan langsung, tetapi juga mengalami dampak jangka panjang dari luka psikologis yang mereka alami. "Anak-anak ini sering kali harus menanggung beban trauma yang sangat berat setelah kehilangan orang tua atau anggota keluarga akibat terorisme," kata Margareth. Ia menekankan pentingnya perhatian dan perawatan bagi anak-anak yang selamat dari aksi terorisme. Namun, menurutnya, saat ini anak-anak yang menjadi korban serangan terorisme seringkali terabaikan oleh perhatian pemerintah. "Ada anak-anak yang hingga sekarang masih menderita akibat ledakan bom yang mengakibatkan cacat fisik seumur hidup," lanjutnya. Ia juga menyoroti pentingnya langkah preventif untuk menghindari anak-anak menjadi bagian dari jaringan terorisme.
Narasumber tersebut juga memaparkan temuan-temuan KPAI terkait anak-anak yang terpapar radikalisasi. "Salah satu temuan terbesar adalah adanya anak-anak yang terkena dampak radikalisasi melalui lingkungan keluarga dan satuan pendidikan," ungkap Margareth. Ia menyebutkan bahwa dalam beberapa kasus, orang tua yang terlibat dalam jaringan terorisme secara tidak langsung turut melibatkan anak-anak mereka dalam ideologi radikal. "Anak-anak yang berada di bawah pengasuhan keluarga yang terpapar radikalisme sering kali menjadi korban terorisme itu sendiri," jelasnya. Selain itu, pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang dapat memengaruhi pola pikir anak. "Beberapa anak terpapar radikalisasi melalui pengajaran yang tidak sesuai di sekolah, seperti kurikulum yang tidak memadai dan sumber bacaan yang salah," tambahnya.
Dalam sesi selanjutnya, Margareth Aliyatul Maemunah menyampaikan beberapa rekomendasi dari KPAI untuk menangani masalah ini. "KPAI merekomendasikan agar RAN-PE (Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak) memiliki strategi yang komprehensif untuk melindungi anak-anak yang terpapar radikalisasi," katanya. RAN-PE diharapkan memiliki langkah-langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu untuk menangani masalah ini secara lebih efektif. "Kami ingin memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah turut serta dalam upaya ini," tambahnya. Ia menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, lembaga sosial, dan masyarakat dalam menangani pengawasan anak korban terorisme. "Keberhasilan perlindungan anak dari dampak radikalisasi hanya bisa terwujud jika kita bekerja bersama dengan seluruh pihak terkait," ujarnya.