PA SITUBONDO MENYIMAK PRESENTASI KPAI TINJAU MASALAH ANAK PUTUS SEKOLAH
Selasa, 19 November 2024, Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd., Komisioner KPAI Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya, dan Agama, memaparkan hasil pengawasan terkait anak putus sekolah (ATS) dalam rapat koordinasi nasional KPAI pada pukul 13.45 WIB. Rapat ini diikuti oleh tenaga teknis Pengadilan Agama Situbondo secara daring melalui Zoom, yang diikuti langsung di Media Center. Dr. Aris menjelaskan bahwa meskipun hak atas pendidikan anak di Indonesia telah dijamin oleh undang-undang, masih terdapat kenyataan yang memprihatinkan terkait angka anak yang putus sekolah, bahkan ada yang tidak bersekolah sama sekali. "Pendidikan adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara, namun faktanya, masih banyak anak-anak yang terhalang untuk mengenyam pendidikan," ujar Dr. Aris dalam paparan tersebut. Dia menambahkan bahwa peran pendidikan sangat penting untuk mencetak generasi emas Indonesia 2045 yang mampu bersaing di tingkat global. Namun, data terbaru menunjukkan adanya peningkatan jumlah anak yang putus sekolah di seluruh Indonesia.
Dr. Aris mengungkapkan data terbaru dari Neraca Pendidikan Daerah yang mencatatkan jumlah anak putus sekolah mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2023. "Tahun 2022, terdapat 40.623 anak putus sekolah di tingkat SD/MI, sementara pada tahun 2023 jumlahnya meningkat menjadi 45.047 anak. Begitu juga dengan tingkat SMP, dari 13.716 anak di tahun 2022, menjadi 17.324 anak pada tahun 2023," jelasnya. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional yang dirilis oleh BPS pada 2023, sekitar 0,5 juta anak di Indonesia tercatat tidak bersekolah. Dr. Aris juga menyoroti tren yang terus meningkat dalam data anak putus sekolah, baik di tingkat SD maupun SMP, yang sangat mengkhawatirkan. "Angka ini menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem pendidikan kita yang harus segera ditangani," tegasnya. KPAI pun merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam menghadapi masalah ini dan memberikan rekomendasi strategis kepada pemerintah.
Terkait dengan penyebab meningkatnya angka putus sekolah, KPAI mengidentifikasi beberapa faktor utama yang memengaruhi, antara lain kecanduan game, anak dengan disabilitas, korban kekerasan, dan anak yang tidak memiliki identitas resmi. "Anak-anak yang terjerat masalah sosial seperti kekerasan, narkoba, dan bahkan yang terlibat dalam masalah hukum menjadi kelompok rentan yang terabaikan dalam sistem pendidikan kita," kata Dr. Aris. Selain itu, hambatan fisik seperti kesulitan akses ke sekolah, masalah ekonomi, serta kurangnya dukungan keluarga juga turut menjadi faktor penting penyebab anak putus sekolah. "Anak-anak dari keluarga tidak mampu atau yang menjadi korban perkawinan anak sering kali harus berhenti bersekolah karena keterbatasan ekonomi atau tuntutan keluarga," tambahnya. Situasi ini semakin diperburuk dengan adanya kebijakan PPDB yang tidak selalu berpihak pada anak-anak dari keluarga miskin atau anak dengan kebutuhan khusus.
Sebagai langkah konkret, KPAI memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan pihak terkait untuk menangani permasalahan anak putus sekolah. Salah satunya adalah agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama, dapat melakukan integrasi data peserta didik, khususnya yang terdaftar sebagai anak putus sekolah. "Integrasi data ini sangat penting untuk mengetahui dengan lebih jelas siapa saja anak yang tidak sekolah atau putus sekolah dan apa penyebabnya," jelas Dr. Aris. KPAI juga mendorong agar pemerintah daerah melakukan cek lapangan untuk memastikan keakuratan data tersebut dan mengambil langkah penanganan yang tepat. "Pemerintah harus melakukan intervensi yang berbasis pada penyebab utama anak tidak atau putus sekolah, sehingga solusinya lebih tepat sasaran," tambahnya. Dengan memetakan masalah ini dengan baik, diharapkan ada solusi yang lebih efektif untuk menanggulangi masalah ini.